Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode Simulasi

Simulasi berasal dari kata simulate yang berarti pura-pura atau berbuat seolah-olah, atau simulation yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya pura-pura saja. Simulasi sebagai metode mengajar ialah cara penyajian pelajaran dengan menggunakan situasi tiruan atau berpura-pura dalam proses belajar unTuk memperoleh suatu pemahaman tentang hakikat suatu konsep, prinsip atau keterampilan tertentu (Sudirman. Dkk, 1988). 
Menurut Latuheru (2002), simulasi adalah peniruan atau peragaan dari kejadian-kejadian kehidupan nyata, dimana setiap pemain memegang suatu peran tertentu yang melibatkannya dalam interaksi dengan orang lain, dan / atau dengan suatu dari lingkungan yang disimulasikan. Menurut Roestiyah (2001), kejadian kejadian ini dapat dilatihkan melalui main peran, sosiodrama, atau permainan simulasi.
Metode simulasi adalah bentuk metode praktek yang sifatnya untuk mengembangkan keterampilan peserta belajar (keterampilan mental maupun fisik/teknis). Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata ke dalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktek di dalam situasi yang sesungguhnya (Anonim, 2007).

Simulasi sebagai model belajar merupakan penerapan konsep bahwa manusia sebagai sistem kendali yang mampu membangkitkan gerakan dan mengendalikan sendiri melalui mekanisme umpan balik. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia memiliki pola gerakan seperti berpikir, berprilaku simbolik dan berprilaku nyata. Dalam situasi yang khusus, individu memodifikasi prilakunya sesuai dengan umpan balik yang diterima dari lingkungannya. Gerakan dan prilaku itu disesuaikan dengan umpan balik dari lingkungannya, hal ini dimungkinkan karena kemampuan gerakan sensorinya menjadi dasar dari penerimaan umpan balik itu (Saripuddin, 1997).
Situasi yang dihadapi dalam simulasi ini harus dibuat seperti benar-benar merupakan keadaan yang sebenarnya (replikasi kenyataan). Dalam simulasi, peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri saat melakukan suatu kegiatan/tugas yang benar-benar akan dilakukannya, sehingga apa yang dilakukannya lebih bermakna dalam hidupnya (Anonim, 2007).

Bertitik tolak dari prinsip-prinsip di atas, maka model simulasi dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dengan tujuan untuk mengaktifkan kemampuan yang dianalogikan dengan kehidupan nyata karena proses simulasi ini dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks sengaja di control, misalnya dalam proses simulasi itu dilakukan dengan menggunakan simulator.
Metode simulasi menurut Joyce dan Weil dalam Saripuddin, (1997) memiliki tahap-tahap seperti berikut ini :

Tahap pertama: Orientasi
1.Menyajikan berbagai topik simulasi dan konsep-konsep yang akan diintegrasikan dalam proses simulasi.
2.Menjelaskan prinsip simulasi dan permainan.
3.Memberikan gambaran teknis secara umum tentang proses simulasi.

Tahap kedua: Latihan bagi peserta
1.Membuat skenario yang berisi aturan, peranan, langkah, pencatatan, bentuk keputusan yang harus dibuat, dan tujuan yang akan dicapai.
2.Menugaskan para pemeran dalam simulasi
3.Mencoba secara singkat suatu episode

Tahap ketiga: Proses simulasi
1.Melaksanakan aktivitas permainan dengan pengaturan kegiatan tersebut.
2.Memperoleh umpan balik dan evaluasi dari hasil pengamatan terhadap performansi pemeran.
3.Menjernihkan hal-hal yang miskonsepsional
4.Melanjutkan permainan/simulasi.

Tahap keempat: Pemantapan atau Debriefing
1.Memberikan ringkasan mengenai kejadian dan persepsi yang timbul selama simulasi.
2.Memberikan ringkasan mengenai kesulitasn-kesulitan dan wawasan para peserta.
3.Menganalisis proses.
4.Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata.
5.Menghubungkan isi simulasi dengan isi pelajaran.
6.Menilai dan merancang kembali simulasi.

Di dalam simulasi guru harus dengan sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur siswa dengan merancang kegiatan yang utuh dan padat mengenai suatu proses. Karena itu model ini termasuk model yang terstruktur. Namun demikian kerja sama antar peserta sangat diperhatikan. Keberhasilan dari model ini tergantung pada kerja sama dan kemauan dari siswa untuk bersungguh-sungguh melaksanakan aktifitas ini (Saripuddin, 1997).

Dalam model simulasi, guru berperan sebagai pemberi kemudahan atau fasilitator. Dalam keseluruhan proses simulasi, guru bertugas dan bertanggung jawab atas terpeliharanya suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung atau supportif dan tidak bersifat menilai atau evaluatif. Dalam hal ini guru bertugas untuk lebih dulu mendorong pengertian dan penafsiran para siswa terhadap isi dan makna dari simulasi.

Sarana yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan simulasi ini bervariasi, mulai dari yang paling sederhana dan murah sampai kepada yang kompleks dan mahal dan ini tentunya disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan disimulasikan.
Sintaks model simulasi menurut Joyce dan Weil dalam Sarifuddin, (1997) adalah :

Kelebihan dan kekurangan metode simulasi adalah :

a.Kelebihan :
1.Memupuk daya cipta, sebab simulasi dilakukan sesuai dengan kreasi siswa masing-masing dalam membawakan peranannya.
2.Sekalipun simulasi tujuan utamanya sebagai alat untuk belajar, berbarengan dengan itu siswa belajar dengan bergairah.
3.Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal siswa apabila menghadapi situasi sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat maupun dunia kerja.
4.Simulasi merangsang siswa untuk menjadi biasa dan terampil dalam menanggapi dan bertindak secara spontan tanpa memerlukan persiapan dalam waktu lama.
5.Memupuk keberanian dan kemantapan penampilan siswa di depan orang banyak.
6.Memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan serta pengalaman tidak langsung yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
7.Siswa berkesempatan untuk menyalurkan perasaan yang terpendam sehingga mendapat kepuasan, kesegaran serta kesehatan jiwa kembali.
8.Melalui simulasi siswa dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang mungkin dimiliki.
9.Melalui diskusi yang dilakukan setelah dilaksanakan suatu simulasi, siswa belajar menghargai dan menerima pendapat orang lain.

b.Kekurangan
1.Pengalaman yang diperolah melalui simulasi tidak selalu tepat dan sempurna dengan kenyataan di lapangan atau dalam kehidupan.
2.Tidak jarang simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sedangkan fungsinya sebagai alat belajar menjadi terabaikan.
3.Pelaksanaan simulasi sering menjadi kaku, bahkan jadi salah arah, karena kurangnya pengalaman, keterampilan atau penguasaan siswa terhadap masalah sosial yang diperankan.
4.Faktor emosional seperti rasa malu, ragu-ragu atau takut, akan mempengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.
5.Simulasi menuntut hubungan informal antara guru dan siswa yang akrab dan fleksibel. Ini berarti menghendaki guru yang demokratis, bukan yang otoriter.
6.Simulasi menuntut imajinasi siswa dan guru yang memadai.
7.Simulasi memerlukan pengolompokan siswa yang fleksibel, serta ruang gerak dan fasilitas yang tidak selalu tersedia dengan baik (Sudirman, 1988).